Gue suka nulis, dan inilah cerpen hasil iseng - iseng Gue nulis.
Cekreeek!. Suara pintu kaca klinik dibuka. Ini adalah pasien ke-dua hari ini. Biasanya diakhir bulan seperti ini banyak pasien yang datang. Paling banyak Pasien program KB, yang akan memperpanjang masa KB suntiknya.
Seorang Perempuan dengan tinggi semampai masuk dan seorang Laki – laki tinggi kurus berambut cepak mengikuti di belakangnya.
“Selamat pagi Bu”. Ucapnya menyapaku.
“Selamat pagi. Silahkan duduk. Sudah pernah Periksa disini?”
“belum Bu”
Kemudian kupersilahkan Perempuan muda dengan wajah sendu itu mengisi formulir pendaftaran Pasien Klinik.
“Mau periksa apa Bu?”
“Ehh...anu Bu” dengan sedikit malu – malu.
“Hmm...anu....maksudnya?”
“Sudah kamu ngomong” kata Lelaki yang dari tadi membuntuti si perempuan.
“Kamu aja. Aku malu” kata si perempuan. Sambil mengembalikan formulir pendaftaran yang sudah diisi data Pasien.
Saling menunjuk “kamu” hingga beberapa kali. Sampai membuat Aku sedikit kesal. “itu Bu. Mau cek kehamilan, positif apa enggak. Soalnya udah seminggu telat”. Kata si Perempuan.
“owh..kirain kenapa. Yaudah Mbak pipis dulu ya. Ditampung disini”. Sambil menyerahkan pispot dan mempersilahkan ke kamar mandi. Aku melihat wajah Laki – laki yang tadi mengantar Perempuan itu sedikit aneh, memancarkan raut ketakutan disertai penyesalan.
“ini Bu”. Sambil menyelerahkan Pispot yang kuberikan tadi. Kemudian kubuka sebuah Test pack baru. Kucelupkan kedalam Air seni dalam pispot. Sebentar kemudian kupastikan hasilnya dan memberi tahu mereka.
Belum sempat aku duduk di kursiku kembali, sang Lelaki mencoba menebaknya “Negatif ya Bu”. Aku tersenyum seraya duduk kembali di kursiKu kembali. Kini aku langsung berhadapan dengan Kedua Pasienku, kedua wajah mereka diselimuti rasa penasaran yang teramat.
“selamat ya Mbak. Hasilnya positif”. Namun mereka justru menghela nafas panjang, kemudian hening. Mungkinkah jawabanku bukanlah jawaban yang mereka inginkan.
“kenapa?”. Tanyaku. Mereka tetap diam. “itu hasilnya akurat Bu?”. Sang Lelaki mencoba memastikan. “Tepatnya 90%”. Kataku. Kembali nafas panjang mereka keluarkan.
“kami belum menikah Bu”. Kata si Perempuan. “Hmmm...” sambil kuangkat kedua Alisku. “ya tinggal menikah saja kan”. “Tapi saya belum Karyawan tetap Bu”. Sang Lelaki menjawab.
Oh my God. Apa sih yang ada dipikiran Anak muda zaman sekarang. Menikah kenapa harus nunggu Karyawan tetap. Sejenak lamunanku terbang, dimulai sejak aku di posisi mereka. Ya, seperti Kedua Sepasang Anak cucu Adam dihadapanku. Aku juga pernah mengalami hal yang sama.
Tepatnya Tujuh tahun yang lalu, saat Aku di vonis hamil oleh seorang dokter. Saat itu hanya bingung yang ada dipikiranku dan Pacarku. Akal sehat kami seolah sudah hilang. Kami hanya mau enaknya tanpa mau Anaknya. Astaghfirulloh. Dulu aku juga sempat berfikir untuk menyelesaikanya. Aborsi, pernah terbesit dipikiranku dan pacarku kala itu. Tapi Tuhan berkehendak lain, Janinku kala itu terlalu kebal untuk diAborsi. Mulai dari Nanas muda, tapai, hingga berpuluh Pil sudah masuk keTubuhku. Tapi Janinku adem ayem didalam sana, seolah Dia tak terima jika harus pergi. Dia ingin melihat Dunia yang ku jejaki sekarang. Seolah Dia berseru, Aku ingin hidup dan melihat indahnya Dunia ini Ibu.
Tuhan sangat menyayangi Janinku kala itu. Saat tamparan kata – kata Ibu dan Amarah Ayah tumpah padaku atas kelakuanku melakukan Aborsi. “Anakmu bisa lahir cacat Arin”. Kata ibu sambil bersimbah air mata di pipinya. Saat itu Ibu memeluk Tubuhku erat. Tiba – tiba kurasakan desir desir darahku mengalir, tubuhku lunglai, lemah. Alangkah bodohnya Aku mengijinkan laki – laki menjamah tubuhku sebelum menikahiku. Hingga akhirnya berbadan dua seperti ini.
Aku sadar kesalahanku. Sudah Dua kesalahan aku lakukan. Pertama Hamil diluar Nikah dan yang ke-Dua adalah percobaan Aborsi. Aku menangis dan semakin erat kedua lenganku memeluk Ibu, saat Ibu dan Ayah dengan hati yang remuk bersedia menerima anakku. Calon cucu mereka.
Tak berapa lama Akhirnya Aku dan Arya menikah dengan kondisi Arya menganggur. Bagaimana mungkin bisa kerja, kita berdua sama – sama mahasisiwa semester awal yang masih bergantung pada transferan orang tua. Arya terpaksa menghentikan Kuliahnya dan memilih bekerja sebagai buruh pabrik.
Hanya berjarak tak lebih dari lima bulan Kami menikah, Anak kami lahir. Sosok anak laki – laki sehat dan kuat. Seiring kelahiran Anakku, Cibiran dan ejekan selalu tertuju pada keluargaku. Tapi Ayah dan Ibu tetap sabar mendengarkanya. Yang dibilang anak haram, anak jadah, dan masih banyak lagi.
Oh Tuhan. Hanya karena Kesalahanku dimasa muda, sampai Ayah dan Ibu juga harus menanggung malunya.
Lamunanku tersadar saat Laki – laki kurus kering itu bertanya “mbak disini bisa Aborsi nggak?”. Seperti bensin di beri api, amarahku tersulut dan cepat membesar. Seakan – akan meja kaca dihadapanku ingin ku pukul sekuat tenaga hingga berkeping.
Mataku melotot ke arah mereka berdua. Seakan kedua bola mataku hendak keluar dari tempatnya. Aku kecewa kepada mereka. Kenapa Aborsi menjadi tujuan akhir mereka melakukan hubungan badan. Seharusnya mereka berani mempertanggung jawabkanya dengan semua rasa malu akan ejekan dan cibiran.
“TIDAK!!!!”. Kataku kesal. Ingin ku selesaikan dengan Emosi pertanyaan Laki – laki kurus itu. Tapi tidak kulakukan, Aku mencoba meredam emosi yang muncul. Ku ucap istighfar dalam hati berkali – kali hingga hatiku tenang, kemudian Aku mulai memberi saran pada mereka.
Aku sadar aku juga pernah diposisi mereka sekarang, bingung, takut, juga malu bercampur menjadi satu.
“Kalian menikah saja, kasihan janin itu jika harus di gugurkan. Kandunganmu sehat kok mbak”.
“aku pernah diposisi kalian, hamil diluar Nikah, percobaan menggugurkan kandungan”.
“hahh.....masa Bu”. Mereka berdua kaget.
“Iya,” sambil kubuka senyum dibibirku. “ kalian lihat Anak kecil dihalaman itu?” sambil menunjuk keluar menembus pintu kaca ada lima anak kecil sedang bermain bersama. “ Itu Anggara yang berbaju merah, anak pertamaku, hasil hubunganku dengan pacarku dulu. Dia tak peduli dari hubungan apa Dia berasal, Dia bahagia lahir di Dunia ini. Karena itu, biarkan anak kalian lahir, lihatlah tawa angga, apakah dia memiliki tawa yang berbeda dengan anak- anak lain? Menurutku tidak.” Mereka berdua terdiam, mungkin sedang merenungi kata – kataku.
“biarkan kita saja sebagai orang tua yang menanggung dosa – dosa kita sendiri, jangan limpahkan pada anak kita. Kita yang berbuat, maka kita pula yang harus mempertanggungjawabkanya dihadapan Tuhan”.
“iya bu, kami paham. Terima kasih sudah menasehati kami. Kalo begitu kami mau pulang saja, dan mengatakan apa yg sebenarnya pada orang tua kami. “.
“silahkan, yakinlah kalau itu yang terbaik,”
“terima kasih Bu, berapa total biayanya Bu? “
“20ribu saja.”
“ini Bu, terima kasih”.
“kembali.”
“oya Bu, bolehkah kami datang kesini lagi, sekedar untuk Curhat tentang ini”. Sambil memunjuk perut.
“ silahkan datang, pintu selalu terbuka buat kalian”.
0 komentar:
Posting Komentar